Senin, 31 Oktober 2011

Secercah nasihat

Posted by For Indonesiaku 08.15, under | No comments

Engkau yang cintanya tak berbalas,
kudengar senandung lirihmu …

Aku melihatmu berjalan dengan dia yang bukan aku,
bertaut jemari dalam senyum dan tawa kecil yang menyayat hatiku.

Aku berharap itu aku …,
yang bergetar hatinya karena sentuhan jemarimu yang anggun.

Ooh .. betapa aku berharap itu terjadi.

Aku melihatnya bergelayut manja dan bersender lembut ke tubuhmu yang damai dan wangi.

Aku berharap itu aku …,
yang luruh hatinya dalam syahdu karena menghirup udara beraroma kesurgaan yang mengitarimu.

Ooh … betapa aku berharap itu terjadi.

Aku melihatmu merapihkan rambutnya sambil membisikkan rencana keindahan penyatuan jiwamu dengannya.

Aku berharap itu aku …,
yang menggenang matanya dengan air mata haru, karena keindahan dari janji pernikahan yang jujur dan setia.

Ooh … betapa aku berharap itu terjadi.

Tuhanku Yang Maha Lembut,

Temukanlah aku dengan belahan jiwaku,
yang mengobati pedihnya cinta yang terabaikan ini,
yang mengisi palung kehidupanku yang dalam dan kosong karena kesendirian yang sunyi ini.

Aku berharap itu aku …,
yang berbahagia dalam pernikahan yang memanjakanku dalam kemesraan dan kesetiaan.

Wahai Yang Maha Cinta,

Ooh … betapa aku berharap itu terjadi.

Aamiin

Mario Teguh

Minggu, 30 Oktober 2011

Mahasiswa Apatis ??

Posted by For Indonesiaku 07.23, under | No comments


Mahasiswa adalah agent of change (agen perubahan). Oleh karena itu, mahasiswa dituntut untuk selalu aktif dan bersuara. Namun pada kenyataannya, hanya segelintir mahasiswa yang aktif dalam organisasi kampus ataupun kelembagaan lainnya.
APATIS : ‘tidak peduli’ (bahasa Inggris, “apathy” berasal dari kata Yunani “a-pathos”, harfiah : tanpa perasaan). Maka, orang yang apatis adalah orang yang tidak peduli urusan orang lain, tidak peduli lingkungan dan apa yang terjadi disekitarnya. Sikap apatis, hopeless, putus asa, putus harapan, adalah bagian yang wajar dari diri kita sebagai manusia, tidak ada yang salah, normal saja. Tetapi apabila terus menerus memelihara sikap tersebut adalah salah besar.
Mungkin kita semua sering mendengar jargon klasik “Janganlah bermimpi terlalu tinggi, kalau tidak tercapai nanti jatuhnya sakit. Jangan panjat pohon tinggi-tinggi, nanti kalau jatuh lebih sakit.” Yeah..that’s right. Tetapi, kalau tidak bermimpi sama sekali, ya tidak ada tujuan yang tercapai. Yasudah tidak usah sekolah, kan sudah ada yang lulus sekolah. Tidak usah kuliah, kan sarjana sudah banyak. Mengikuti ujian sekolah resikonya jelas ada dua, yaitu lulus dan tidak lulus. Ada harapan di sana. Tetapi kalau tidak ikut ujian sekolah, resikonya sudah jelas cuma satu : tidak lulus sekolah.
Banyak alasan mengapa mahasiswa menjadi apatis, pertama hedonisme (gaya hidup berhura-hura yang hanya mementingkan kesenangan dan kenikmatan duniawi) secara perlahan merasuki kaum muda-mudi, tak terkecuali mahasiswa. Mahasiswa kini tak bisa lagi secara universal disebut kaum intelektual atau pembawa perubahan. Hedonisme telah merubah banyak diantara mereka dari kutu buku menjadi pencinta club malam, narkoba atau miras. Pergeseran perilaku ini tak bisa dilepaskan dari pengaruh arus globalisasi sehingga cenderung sangat sulit dibendung.
Organisasi seharusnya mampu memberikan kesibukan kepada mereka sehingga tak ada waktu untuk terjebak pada perilaku menyimpang ini. Gelarlah kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial seperti baksos atau kegiatan yang kompetitif seperti lomba menulis dan sebagainya. Buatlah kegiatan yang tak dapat diperoleh di bangku kuliah agar mengacu mahasiswa untuk berpikir kreatif, inovatif, dan cerdas. Kegiatan-kegiatan tersebut nantinya tidak hanya akan bermanfaat bagi diri mahasiswa sendiri, tapi juga bagi lingkungan di sekitarnya.

Kedua, munculnya tanggapan miris di kalangan mahasiswa sendiri bahwa organisasi menghambat prestasi akademik. Banyak yang enggan berorganisasi lantaran melihat rekannya yang berorganisasi mengalami penurunan dalam prestasi akademik, sehingga muncul anggapan bahwa organisasi menghambat mahasiswa dalam menyelesaikan studinya. Padahal, sejumlah organisasi kemahasiswaan telah menetapkan indeks prestasi akademik tertentu atau jumlah SKS yang harus dilulusi sebagai prasyarat menjadi pengurus. Ini yang perlu ditegakkan lagi.

Ketiga, ada persepsi publik yang terbangun saat ini bahwa pengurus lembaga kemahasiswaan hanya memiliki bakat demonstrasi. Image ini muncul dari sejumlah pemberitaan media massa bahwa umumnya aksi demonstrasi menyusahkan masyarakat misalnya pemblokiran jalan dan sebagainya. Apalagi jika demonstrasi yang digelar berakhir bentrok.

Seharusnya kita tetap optimis, tetap penuh harapan, suatu saat akan ada perubahan ke arah yang lebih baik. Memang betul, kenyataan belum tentu sesuai harapan.Tapi yang pasti kalau kita terus menerus putus asa, apatis, keadaan tidak akan berubah menjadi lebih baik.

Di sisi lain, sungguh disayangkan bahwa tak jarang gerakan mahasiswa tak mengundang simpati melainkan antipasi dari masyarakat lantaran gerakan mereka tak independen lagi. Beberapa aksi yang digelar cenderung berbau politis alias ditunggangi oleh pihak yang punya kepentingan. Banyak yang ikut demonstrasi tak menguasai wacana sehingga kesannya ikut-ikutan.
Jadi tak perlu heran manakala mahasiswa sekarang lebih memilih apatis ketimbang jadi organisatoris sebab mereka memandang organisasi tak lagi menjadi alat kebanggaan. Bahkan organisasi tak memberikan jaminan kehidupan yang layak di hari tua.